8.12.07

ARTIKEL

MENYANYI DAN MENARIKAN AIRMATA PAPUA

1. PENDAHULUAN

“Seorang teman di Jawa mengatakan bahwa dirinya bisa menyanyi dan menarikan lagu dan tarian tradisional Papua dengan baik. Ia kemudian melantunkan lagu Apuse dan Sajojo, sambil bergoyang pinggul ala Yospan dengan bersemangat. Baguslah. Tapi saya ingin ia sesekali ke Papua dan menyaksikan betapa Apuse hanya salah satu lagu daerah dari satu suku di Papua yang berjumlah ratusan itu. Sedangkan Yospan (Yosim Pancar) sama sekali bukanlah tarian tradisi, melainkan tari kontemporer yang dimodifikasi dari berbagai gerak dasar tarian rakyat berbagai suku. Yospan dproduksi pada masa pemerintahan Orde baru untuk kepentingan pariwisata dan dipaksakan keberadaannya sebagai representasi tarian adat Papua di tingkat nasional”.



Papua, sebuah wilayah dengan keluasan mencapai 710.937 km2, dan 410.660 km2 diantaranya adalah daratan. Hutannya menghampar luas, jika digabung dengan Papua Nugini maka hutan Papua terhitung nomor dua terbesar di dunia setelah Amazon. Di wilayah ini, terdapat 312 suku asli dengan bahasa dan dialek masing-masing yang khas, hingga tercatat 15% dari seluruh bahasa yang ada di dunia ini dimiliki oleh Papua. Bentuk-bentuk seni orang papua pun sangat beragam sesuai etnik mereka. Di sebuah daerah dimana bahasanya berbeda dari kampung satu ke kampung lain, sangat mungkin jika ekspresi artistik yang muncul akan berbeda bentuknya. Senjata, ukiran, kerajinan, dan instrumen musik dibuat oleh orang-orang yang berbeda di tempat yang berbeda pula, sesuai dengan ketrampilan dan keyakinan tradisional mereka.



Hingga kini Papua adalah tempat dimana nilai-nilai tradisi itu masih dipegang oleh penduduk aslinya. Tak heran jika, selain kekayaan alamnya memikat hati para investor yang melihatnya sebagai sumber keuntungan tak terperi, Papua juga adalah surga bagi para antropolog di seluruh dunia.


Perubahan jaman dan arus migrasi menjadikan Papua berkembang sebagai wilayah dengan etnis bervariasi. Orang-orang terus berdatangan dari berbagai suku bangsa, hingga kini jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari seluruh orang Papua. Kini kita menyaksikan, Papua tumbuh menjadi masyarakat yang plural, baik dari segi etnis, budaya, agama, ekonomi, dan interes politik. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan itu semakin menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, orang asli dan migran. Sementara itu nilai-nilai baru dan pola hidup yang dibawa oleh orang migran telah menyebabkan shock kultural yang hebat pada penduduk asli. Kebudayaan Papua mengalami perubahan ke arah yang tidak dipahami oleh mayoritas orang Papua sendiri. Perkembangan berbagai bidang yang didominasi corak modern, menyingkirkan kebudayaan Papua hingga jauh ke pedalaman. Perubahan ini menyebabkan suatu bentuk kebutuhan dan ketergantungan baru orang Papua terhadap produk-produk buatan industri. Orang yang semula memakai koteka di Wamena kini mulai merubahnya menjadi kain dan dengan demikian harus membeli sabun untuk mencuci. Beras yang tidak ditanam orang Papua, kini menyerbu hingga pelosok kampung menggantikan sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Semula orang Papua yang tingal di pedalaman tidak perlu membeli beras maupun minyak dan belanga, karena umbi-umbian yang dapat dibakar dengan kayu dan batu cukup tersedia di sekeliling kampung mereka.


Sementara itu generasi baru yang muncul kemudian tidak lagi memiliki pegangan lain sebagai pengganti, dan akhirnya bergerak di tengah persimpangan antara pola tradisi lama dan budaya luar yang masuk melalui tumbuhnya kota. Perlahan-lahan budaya Papua kini terancam hilang dan orang-orang tua pewaris kebudayaan mulai cemas oleh perkembangan ini. Matinya kebudayaan Papua berarti hilangnya identitas orang Melanesia di Papua.

Salah satu ekspresi budaya adalah seni. Sebagai masyarakat dengan tradisi lisan sangat kuat, ekspresi seni di Papua didominasi oleh musik, lagu, cerita rakyat, dan tarian, yang masih dapat ditemukan di seluruh daratan Papua. Jika kita pergi ke kampung-kampung, akan terkesan betapa banyak hal dahulu dilakukan dengan lagu, musik, dan tari: berburu, berdoa, menidurkan anak, membuat perahu, menokok sagu, mencari ikan, berperang, berdamai, dll. Musik dan tari mengalir hampir di semua aktivitas kehidupan. Setiap malam menjelang matahari mulai temaram, hutan pulas dalam nyanyian serangga dan suara kodok; dan pagi harinya ketika embun turun, musik kembali terdengar. Tembang penuh semangat hidup, tembang ratapan, tembang pujaan pada keindahan alam dan penghormatan pada leluhur, atau tembang cinta yang menusuk cuaca tropis yang panas.

2. SURUTNYA SENI DAN BUDAYA PAPUA
Menyebut kata Papua, bawah sadar orang yang tinggal di luar Papua seringkali melayang pada sebuah hutan belantara dengan masyarakat tanpa baju kain, yang berjalan sambil menggendong babi di pundak kiri dan memegang tombak atau kapak batu di tangan kanan. Dan ketika menyebut seni-budaya Papua, orang akan membayangkan kumpulan laki-laki perempuan dengan seluruh tubuh penuh coretan dan lumpur, menari tak beraturan sambil menjerit-jerit memanggil roh nenek moyangnya. Tak jarang orang yang tinggal di Jawa merasa ngeri untuk pergi ke Papua. Selain jaraknya yang jauh, mereka akan memikirkannya lagi berkali-kali ketika ada yang berpesan “Awas, nanti kamu dimakan oleh suku asli...”

Tak dapat dipungkiri bahwa gambaran orang Papua masih hidup dalam situasi primitif, memuja kanibalisme dan ilmu hitam, hingga kini masih tersisa di benak orang-orang di luar Papua. Pandangan ini dilekatkan dan dipromosikan sejak abad 17 oleh para antropolog yang datang ke Papua. Luigi Maria D'Albertis (1876) salah satu contohnya, antropolog ini berangkat ke Papua dengan pasukan bersenjata dan bekal amunisi lebih lengkap dari pada peralatan seorang periset. Saat pulang ke negerinya, D'Albertis memenuhi kapalnya dengan koleksi kapak batu, panah, tombak, serta potongan tubuh dan tegkorak kepala manusia papua, di samping specimen tumbuh-tumbuhan dan serangga. Barang-barang itu dibawanya ke museum di negeri asalnya sebagai tanda prestasi invensi intelektual yang luar biasa.

Cara yang dipakai oleh para antropolog tempo dulu, juga menjadi salah satu taktik yang sering dipraktekkan oleh militer di Papua saat ini. Anggota pasukan yang diturunkan di Papua selain dibebani tugas mempertahankan kesatuan NKRI, mereka juga membayangkan dirinya sedang dalam misi untuk merubah “orang kanibal agar menjadi lebih beradab” (civilizing). Dan taktik yang digunakan adalah secara langsung bertempur dengan orang-orang Papua yang “liar” itu. Hal ini tergambar jelas saat seorang penduduk Enarotali-Papua Tengah bernama Igiyouda yang tertangkap tentara dan akhirnya dieksekusi: ia ditemukan mati dalam keadaan tubuh ditusuk besi panas dari anus tembus hingga mulutnya. Pada bulan September 2001, mayat pemuda berusia 32 tahun bernama Wellem Korwam ditemukan terapung di tepi pantai dekat Wasior. Kondisi mayat Korwam mengingatkan kita pada tubuh mayat-mayat yang dibawa oleh antropolog D'Albertis ratusan tahun lalu: ia dimutilasi menjadi tujuh potongan
[1].

Lalu, siapa yang sesungguhnya kanibal?

Sikap arogan dan ketidakpahaman terhadap budaya lokal Papua telah mengakibatkan pandangan dan sikap subordinatif yang tersturuktur serta pelecehan yang mematikan. Adalah sebuah kesalahan sejarah sangat fatal ketika orang melihat dan memahami Papua sebagai gudang kekayaan sumber alam belaka dan melupakan bahwa di dalamnya hidup jutaan manusia Papua. Namun pandangan inilah yang saat ini menguasai benak penguasa dan pemodal yang meneteskan air liur saat merancang investasi masa depan, sembari berpikir bagaimana mengeliminasi berbagai kendala yang mungkin dihadapi saat mengeksplorasi keseluruhan permukaan dan perut bumi Papua. Cara eliminasi itu bisa berwujud fisik atau pun kultural.

Ketika tidak bisa lagi meniadakan penduduk setempat secara fisik, para imperialis kemudian akan mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa penduduk Papua tidak memiliki kebudayaan, atau dengan dalih bahwa kebudayaan Papua rendah dan tidak beradab. Mitos tentang koteka, jaman batu dan lain-lain kemudian sengaja dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa.


Sejak hadirnya misionaris kristen, beberapa seni budaya Papua mengalami penaklukan karena dianggap sebagai artikulasi paham animis, bahkan disebut kafir (misalnya seni Wor Biak). Upacara tradisi kultural dalam skala besar hanya mampu bertahan hingga tahun 1950. Perkembangan selanjutnya, Katholik dan Protestan saling berlomba dalam merebut wilayah dan umat (manusia Papua) untuk di-Kristenkan berdasarkan theologi barat. Misi ini disertai dengan penerapan larangan-larangan kepada masyarakat untuk tidak mengekspresikan seni dan budayanya. Pengkaplingan wilayah pendudukan agamapun terjadi di Papua, dimana Kristen Protestan mendapatkan jatah meliputi hampir sebagian daerah pesisir pantai utara dan pinggiran pegunungan. Sedangkan Kristen Katholik merambah wilayah pegunungan tengah dan selatan hingga sebagian kepala burung, berdampingan dengan Islam yang berkembang di kepulauan Raja Ampat dan Fak-fak. Meskipun pengaruh agama modern telah mengakar di masyrakat adat Papua, kepercayaan Pantheisme di sisi lain masih tersisa dan terpelihara dengan berbagai ritual tradisional yang dilaksanakan dalam skala kecil.
Sementara itu, bagi pemerintah (nasional) ekspresi seni budaya papua adalah sesuatu yang harus dirubah karena dianggap tidak bernilai, brutal, dan cenderung menakutkan. Rumah-rumah adat yang menjadi pusat pendidikan adat dan pewarisan pengetahuan bagi suku-suku di papua juga kemudian dilarang (misalnya rumah adat Kambik pada suku Moi, Rumsram di Biak, Jew di Asmat, Harit di Maybrat-Teminabuan, Kun pada suku-suku sekitar DAS Mamberamo-Sarmi, dll), karena selain dianggap bertentangan dengan agama modern, rumah adat dicurigai oleh militer sebagai tempat mempromosikan gagasan separitisme. Contoh lain yang hingga kini menjadi kenangan buruk bagi para seniman di Papua adalah pelarangan, penangkapan, dan pembunuhan terhadap seniman-seniman Papua. Pengalaman paling traumatis adalah penangkapan dan kematian personel Group budaya Mambesak, Arnold C. Ap oleh TNI (Kopassandha) di pantai Pasir Enam Jayapura, saat dirinya masih berstatus sebagai tahanan LP Abepura. Sedangkan Eddy Mofu ditemukan terapung di laut dengan lubang peluru di dada dan perut terobek senjata. Beberapa saat kemudian Sam Kapisa, anggota Mambesak yang juga seorang guru sekolah, meninggal secara misterius. Namun rakyat Papua yakin ia sengaja dimatikan oleh aparat militer. Dengan kematian mereka, pemerintah Indonesia telah melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional rakyat Papua, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya mempersatukan berbagai kelompok yang saling bertikai
[2].

Mengapa mereka dibunuh? Mengapa kelompok yang ingin mengangkat seni rakyat itu dimatikan, diteror, dan dimata-matai hingga kemudian hilang dan tinggal menjadi kenangan? Mengapa seni budaya Papua yang kaya ini harus diredam sementara di sisi lain pemerintah memberikan keleluasaan kepada budaya dan seniman-seniman lain di luar pulau Papua untuk mengembangkan budaya masing-masing? Lantas mengapa selalu meneriakkan jargon pengembangan budaya lokal dan Bhineka Tunggal Ika yang keramat itu?


3. MENARI DAN MENYANYI ADALAH KERJA BERBAHAYA?
Musik, lagu dan tari adalah spirit manusia Papua; dengan itu mereka bicara.

Untuk mengerti kekuatan musik dan tari di Papua Barat, dibutuhkan pemahaman tentang perjuangan demi identitas orang Papua. Dalam tekanan mendalam, musik dan tari menjadi bagian yang menggelorakan jati diri Papua, suatu identitas yang selama ini berusaha diberangus. Tetapi segala ekspresi yang mencerminkan identitas sejati orang papua justru dilarang. Pemerintah nasional seolah tidak menghendaki seorang dengan diri Papua, melainkan seorang Irian yang loyal. Dalam kenyataannya, diri Irian hanyalah khayalan dan identitas sesungguhnya tak pernah beranjak dari diri seorang Papua.

Setiap lagu dan tari memancarkan keyakinan dan harga diri seorang Papua. Untuk memahaminya, kita harus menyelami ke dalam lagu dan tari itu sendiri, dan kita akan mulai mengerti sesuatu tentang Papua. Lewat lagu kebudayaan diangkat, dan hidup rakyat dimuliakan. Lirik dan ragam yang memuja misteri serta kemolekan alam Papua, menyatakan kembali legenda dan tradisi, memberikan pengetahuan dan kearifan, juga ratapan, tawa, dan kegalauan. Berbisik tentang keseharian hidup, perjuangan serta harmoni kebersamaan. Lagu menjadi lem perekat jiwa, spirit, dan mengobarkan kembali identitas melalui tradisi oral.

Sebagaimana hidup rakyat, setiap kata lahir dari palung hati mereka, memancarkan hasrat personal terhadap situasi sekelilingnya. Justru karena itulah Eddie Mofu dan Arnold Ap dimasukkan dalam penjara oleh militer dengan tuduhan bersimpati pada gerakan separatis OPM. Namun lebih dari itu, apa yang dilakukan Mofu, Ap, Sam Kapisa, dan segudang seniman-seniman papua adalah bernyanyi dan menarikan lagu-lagu tradisional rakyat, rupanya telah menumbuhkan martabat dan kebanggaan orang Papua terhadap budayanya sendiri. Bagi pemerintah ini adalah sebuah “kejahatan”. Karena begitu dicintai rakyat dan kekuatannya yang mampu mentransformasi kesadaran orang papua dari sukuisme menjadi nasionalisme itulah yang diduga menjadi alasan kuat mengapa Mambesak perlahan-lahan dihabisi. Bangkitnya budaya papua melalui ekspresi musik, lagu, dan tari, dikawatirkan akan menguatkan rasa cinta terhadap tanah air, memunculkan sentimen ke-Papua-an, dan akhirnya mengakumulasi keinginan untuk bebas dan merdeka.

Dari lagu-lagu rakyat yang dinyanyikan oleh Mambesak, sekilas kita bisa melihat betapa sederhana syair dan musik yang dimainkannya. Namun bagi orang Papua, penuh makna karena dinyanyikan dalam bahasa tanah (asli) dan dengan dialek maupun cara yang khas masing-masing suku. Salah satu lagu rakyat Biak yang dinyanyikan Mambesak berjudul “Awin Sup Ine” menyatakan rasa bangga pada alam Papua:

Orisyun isew mandep fyarawriwek
Nafek ro masen di bo brin mandira
Napyumra sye napyumda ra nadawer
Makamyun swaro beswar bepondina

Ref
Awino kamamo sup ine ma
Yabuki mananis siwa muno
Yaswar I na yaswar I sof fioro

[Dalam cahaya gemilang, sinar mentari melukis keindahan di langit,
menggelorakan pandangan & perasaan
saat ini, tak ada yg dapat menolong,
kecuali dengan mengingat kembali peristiwa manis masa lalu
dan menghayati rasa cinta yang mengikat kita
pada tanah ini].

“Nanen Babe” lagu rakyat Sarmi -sebuah wilayah pesisir pantai utara Papua juga berisikan syair2 yang penuh arti tersembunyi:

Nanen babe nanen meina babe
Kwin matreuban maska teufyar deiwa
Teimwa Aram usker ma enap aram enap

[Bintang pagi terbit di timur ‘kan segera diikuti matahari,
Keindahan langit membawa ingatan
pada kampung halaman]

Itulah bintang terakhir di langit gelap sebelum fajar menyingsing, cahayanya memandu nelayan pulang dengan aman. Bintang kejora yang kecil dan bercahaya di pagi hari menjadi simbol kebebasan, memandu rakyat kembali pulang ke (kedaulatan) tanahnya sendiri. Sebuah lagu lain menyatakan secara terbuka suatu kemarahan dan emosi yang kuat. “Muman Minggil” yang dinyanyikan dalam bahasa Auyi -sebuah wilayah di Arso yang sarat represi militer dan porak poranda oleh penebangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Dengan irama yang cepat, mudah dicerna, dan berisi pesan spontan:

Muman mingil kai bekhel smetwat
Yus yata timtom fofuso
Nu manggi uwel nekwaukhu
Semfat yemse takhul yen
Nasa aya khwas

[Waktu berubah cepat,
pusaka warisan nenek moyang sirna dari pandangan,
hanya sisakan reruntuhan rumah kita,
desa tak terpelihara, tersia-sia bagai anak piatu]

Ketika Mambesak memulai pekerjaannya, banyak yang gagal memahami apa tujuan sejatinya. "Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati,” demikian Arnold Ap menjelaskan sesuatu yang dapat menggambarkan semangat Papua yang mengilhami rakyatnya.

4. INISIATIF SENIMAN GENERASI BARU

Setelah peristiwa yang menimpa Mambesak, musik masih menjadi sebuah kekuatan yang menginspirasi gerakan perlawanan terhadap penindasan di Papua. Pesan serta falsafah Mambesak sekarang diambil dan diteruskan oleh seniman-seniman di Papua. Hingga saat ini kelompok-kelompok anak muda generasi baru yang menyadari identitasnya kian punah, mulai menekuni musik dan tari rakyat Papua. Salah satu contoh adalah mereka yang tergabung dalm Kelompok Oridek, Pandotu, dan Humeibou di Manokwari, Bengkel Budaya di Sorong, dan Black Paradise di Jayapura.

Mereka adalah kelompok-kelompok anak muda yang mencoba memadukan seni musik, lagu dan tari sebagai alat pendidikan kristis bagi masyarakat adat papua. Itulah keunikan dari group-group ini yang membedakannya dengan group-group lain yang hanya mengejar kepentingan pertunjukan, pariwisata, rekaman untuk keuntungan dagang, dll. Group musik dan tari yang dipelopori oleh para anak muda ini berusaha mengungkapkan bahwa kebudayaan Papua masih tetap hidup. Mereka menggunakan musik, lagu, dan tari untuk mengangkat identitas, martabat, dan rasa percaya diri rakyat, sekaligus mengkampanyekan penghentian kekerasan, perusakan lingkungan, dan seruan stop peminggiran orang Papua dari tanahnya sendiri.

Group Oridek, Pandotu, dan Humeibou dipelopori pendiriannya oleh Yalhimo Manokwari. Oridek adalah group musik yang beranggotakan para buruh pelabuhan di Manokwari. Humeibou beranggotakan anak-anak muda putus sekolah dan pengangguran yang diorganisir melalui diskusi dan training-training yang diselenggarakan oleh Yalhimo. Sedangkan Pandotu adalah group musik yang berdiri di kampung Werabur, distrik Windesi. Anggota Pandotu terdiri dari orang-orang kampung yang selama ini menjadi basis pengorganisasian Yalhimo.

Humeibou telah merelease 3000 copy VCD yang bertemakan persaudaraan, solidaritas, dan demokrasi. Pandotu juga telah mengeluarkan 500 copy kaset lagu-lagu rakyat bertema perdamaian dan lingkungan yang dinyanyikan dalam bahasa lokal Wamesa. Sedangkan Oridek baru saja menyelesaikan rekaman tentang lagu-lagu rakyat, termasuk Wyor yang selama ini menjadi hal tabu untuk dinyanyikan.

Sedangkan Bengkel Budaya, didirikan pada bulan Agustus 2004 oleh beberapa orang muda di Sorong. Dengan personel berjumlah 28 orang, Bengkel Budaya mencoba mendokumentasikan dan mempraktekkan kembali musik, nyanyian, dan tari tradisional rakyat yang hampir punah. Sebagian besar anggota group adalah anak muda putus sekolah yang tinggal di kampung maupun di kota. Seperti halnya anak-anak muda Papua lainnya, mereka memiliki skill memainkan berbagai alat musik, menyanyi, dan menari dengan baik. Selain membangun sanggar di pusat kota Sorong, Bengkel Budaya mulai melakukan perjalanan ke kampung-kampung untuk merintis sanggar dan mengorganisir pemuda setempat dengan seni sebagai medianya. Cara ini terbukti cukup ampuh, karena seni tradisi dengan mudah menyentuh hati rakyat dan sesuai (klop) dengan kehidupan penduduk sehari-hari. Selain melatih diri dalam hal seni, Bengkel Budaya memiliki diskusi rutin bulanan dan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan wawasan anggotanya. Di tingkat kampung pun, selain kegiatan kesenian, sanggar juga dimanfaatkan untuk pelatihan kerja para pemuda dan tempat diskusi masalah-masalah yang terjadi di kampung serta maslah sosial budaya Papua.

Di tingkat kota, Bengkel Budaya mencoba melakukan kampanye budaya lokal dan pluralisme melalui program khusus budaya di radio lokal. Acara ini mengudara setiap satu minggu sekali, yang diisi dengan live musik tradisonal, cerita rakyat, mop, dan dialog interaktif.

Black Paradise (BP) sebuah group budaya yang terdiri dari anak-anak muda kini sedang berupaya meneruskan apa yang telah dirintis oleh Mambesak: mengasah kembali budaya yang digempur oleh militerisme, dirongrong oleh gereja, dan dieksploitasi oleh pedagang. Sebagian besar anggota group ini adalah juga aktivis HAM yang bekerja di ELSHAM Jayapura. Bekerja membela hak asasi manusia tak bisa dipisahkan dari musik mereka. Belum lama ini beberapa anggota BP melakukan perjalanan ke Timika, sebuah kota yang berada di bawah bayang-bayang pertambangan emas dan tembaga raksasa: Freeport. Perusahaan yang dilindungi ketat oleh militer ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang maha parah dan menciptakan sejumlah konflik sosial. Sembari melakukan investigasi pelanggaran HAM, saat di Timika anggota BP juga mengumpulkan lagu-lagu tradisional. Salah satu contohnya adalah Akai Mbipae, sebuah lagu yang menceritakan tentang kepedihan suku Amungme yang terajam oleh kehadiran pertambangan raksasa itu: seorang ibu yang menagis karena manusia, khususnya freeport telah merusak lingkungan.

BP memiliki sebuah pesan sederhana yang ingin disampaikan pada publik: "Kami ada untuk mengungkapkan bahwa kebudayaan Papua masih tetap hidup. Kami ingin Pemerintah Indonesia menghentikan kekerasan di tanah Papua, dan membiarkan kami berkarya”. Beberapa waktu lalu BP melakukan tour ke Australia, dalam sebuah konser bertajuk Morning Star Concert for West Papua. Sebuah konser yang ingin menunjukkan apa yang terjadi di sebuah pulau besar yang berjarak beberapa mil dari pantai Australia ini. BP ingin menyentuh dan menginspirasi orang-orang di Australia untuk belajar lebih banyak tentang Papua barat, meski dalam kehadirannya yang hanya sesaat. “Kemanusiaan dan kedamaian di Planet ini adalah hak milik semua orang, dan harus diperjuangkan oleh setiap orang, dimanapun ia berada”. BP telah merelease 5000 copy CD musik dan telah beredar di Papua, Australia, Pasifik, dan Eropa melalui jaringan kampanye HAM dan perdamaian yang telah dibangun.


5. PENUTUP

Di sebuah tempat dimana ekspresi identitas menjadi bagian yang diperjuangkan, musik, lagu, dan tarian pun menjelma senjata. Sebagai media, ia memiliki kekuatan untuk membangkitkan kemarahan, kesedihan, suka cita, dan persaudaraan. Namun kini musik, lagu, dan tarian tradisi rakyat juga menghadapi gempuran bentuk-bentuk kesenian asing yang membawa serta paradigmanya sendiri. Di Papua adalah sebuah kerja teramat berat untuk bagaimana mempertahankan berbagai bentuk tari dan musik menjadi identitas budaya. Meski bergerak dinamis seni dan budaya tetaplah harus menjadi bagian yang dimiliki, dipahami, dan menjadi satu dalam “diri papua” yang kontekstual, tidak tercerabut dari akar, sehingga mampu menuntun manusia Papua ke arah kesejatian hidup, saat ini dan di masa depan. @Max Binur


[1] Eben Kirksey, Anthropology and Colonial Violence in West Papua, Cultural Survival Quarterly Fall 2002[2] Dr. George Junus Aditjondro; Bintang Kejora Di Tengah Gelap Malam, Penggelapan Nasionalisme Orang Irian Dalam Historiografi Indonesia, 4 Juni 1993


* Bagian 3 dari tulisan ini diadopsi dari paper Niki Okuk. Thanks to Niki for your inspiration..

6 komentar:

  1. halo kawan yang jauh di timur tapi dekat di hatiku. saya guru SBK (seni budaya dan kesenian). kemarin kami bersama-sama anak menyanyikan lagu daerah termasuk apuse. bagus lagunya tapi kami tidak tahu artinya. kiranya saya akan sangat bahagia jika dikasih terjemahan lagu apuse ke bahasa indonesia. saya tunggu postingan terjemahan lagu APUSE. terimakasih.

    BalasHapus
  2. Heheheee, mantap skali. Lanjutkan..!

    BalasHapus
  3. Mr.Marisyan7/12/11 04:08

    Pelan tapi pasti. Belantara sudah buat banyak untuk melestarikan budaya PAPUA. AKAWUON sangat berterimakasih kpd Belantara, karena kami belajar dan banyak tahu di belantara. Tuhan Memberkati Orang bekerja dgn hati membangun di TANAH PAPUA.

    BalasHapus
  4. iya betul, saya pun belum tahu artinya lagu apuse, tetapi kalau lirik lagunya ditau,,

    bacaan malam hari...ince infox and komsel untuk belantara..

    BalasHapus
  5. BetMGM Sportsbook Review and Bonus Code - DrMCD
    The BetMGM sportsbook app is a safe and secure way to wager with sports fans 대전광역 출장안마 in Michigan, Pennsylvania, and the West Virginia 부천 출장안마 sports 목포 출장샵 betting market. The app 성남 출장샵 has been  고양 출장마사지 Rating: 3.2 · ‎Review by Dr

    BalasHapus

Silahkan berikan komentar Anda terhadap sajian ini.